Sayaberkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3 ilmu: Mereka mengajariku bagaimana berbicara, Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan kelembutan hati, Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawwuf.” (Riwayat dari kitab Kasyf al-Khafa dan Muzid al Albas, Imam ‘Ajluni, juz. 1, hal. 341)
Sedangkanal-Ahwal adalah suatu rasa khauf, tawadhdhu’, taqwa, ikhlas, syukr dan muthma’innah di dalam diri seorang sufi. Tawbah merupakan suatu tindakan yang dilakukan seorang sufi untuk membersihkan dirinya dari dosa dengan cara menyadari dosa yang telah ia lakukan, mengakui, menyesali dan melakukan perbaikan atas kesalahannya.
Orang yang bertaqwa ialah orang yang kesholehan pribadinya mampu untuk melahirkan kesholehan sosial. Inilah sikap yang menyebabkan sebuah peradaban pada zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam terbangun saat usianya masih sangat hanya dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun keadilan mampu ditegakkan, kemaksiatan terkarantina, kesenjangan sosial dapat tersingkirkan, kekufuran terkubur dan keharmonisan terbangun. Sehingga setan pun putus asa untuk kembali eksis di baitullah, setan berputus asa untuk mengajak manusia menyembah berhala di hadapan ka’ pada saat zaman Umar bin Abdul Azis, hanya dalam kurun waktu 2,6 tahun mampu meraplikasi ketaqwaan sahabat-sahabat senior pada masa kekuasaannya. Sehingga, beliau diberi gelar sebagai khalifah ke-5. Begitulah esensi taqwa yang meresap ke dalam jiwa.“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” QS. al-Baqarah 183Ayat ini merupakan ayat yang menjadi dalil tentang kewajiban bagi orang yang beriman untuk melaksanakan puasa yaitu puasa yang dapat melahirkan karakter taqwa, output nya ialah sebuah sikap taqwa dalam pribadi-pribadi kaum muslimin yang teraplikasikan dalam kehidupan nyata, bukan angan-angan, bukan sekedar teori, bukan sekedar hiasan grand design yang Allah Subhanahu wa Ta’ala syariatkan untuk kita berpuasa di dalamnya, inilah hasil akhir yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan ibadah puasa sebagai perangkatnya, yaitu bagi kita yang benar dalam menjalankan kita menjadi manusia yang bertaqwa, manusia yang terbimbing dengan sentuhan ilahiyah, manusia yang terbimbing dengan sentuhan tarbiyah Rabbaniyah, sehingga terpancar dari kita sikap taat terhadap perintah-Nya, sehingga terpancar dari kita akhlak mulia dari pergaulan keseharian, terpancar dari kita kesibukan yang dapat membersihkan hati dan menata diri dari hal-hal yang tidak di ridhoi oleh Allah Ta’ Al-Qur’an kita sama dengan yang ada pada mereka? Bukankah hadits-hadits yang menjadi sandaran kita sama dengan hadits yang mereka terima? Jika kita tak mengingkari bahwa kedua sumber pedoman itu sama dengan apa yang mereka jadikan apa yang menjadi masalah hingga output nya berbeda begitu jauh sekali. Esensi dari makna taqwa inilah yang perlu kita benahi jika kita menginginkan output yang sama dengan apa yang diraih oleh generasi terbaik ummat ini, generasi sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa yang bertaqwa bukanlah mereka yang sibuk dengan tampilan luar namun lupa bagian dalamnya, mereka yang sibuk memperbaiki bagian luar namun lupa memperbaiki bagian yang hanya sibuk memperbaiki ibadah-ibadah mahdahnya namun melupakan hubungannya kepada sesama manusia, mereka benci pada persatuan dan gemar memecah belah ummat, orang-orang yang suka mencela dan menghina orang lain, serta orang-orang yang merasa lebih dan lebih berilmu dari orang artinya kita berpuasa namun tidak melahirkan sikap taqwa dalam jiwa, kita Qiyamul Lail jika hanya melahirkan sikap sombong, kita tilawah Al-Qur’an namun lisan ini tidak terjaga, kita bersedekah jika disertai dengan merendahkan orang lain, kita berzakat namun selimut kedengkian tidak mampu kita singkirkan, kita mengkaji Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam jika hanya melahirkan kesibukan pada kesalahan orang lain, dan kita menghabiskan waktu pada majelis ilmu jika hanya melahirkan sikap mendikte amal-amal yang dikerjakan orang kebaikan dari amal-amal sholeh itu tidak akan mampu menyelamatkan kita dari siksa api neraka jika kita tidak menghiraukan hati yang berkarat ini, jika hati kita tidak selamat di bulan yang mulia, jika hati kita terbalut dengan kedengkian-kedengkian terhadap orang lain, jika hati kita dipenuhi kebencian terhadap sesama muslim, jika hati kita terbungkus dengan kesombongan, dan jika hati-hati kita tunduk pada perintah Tuhan yang bernama hawa celakalah orang-orang yang tidak mendapatkan ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala dibulan yang agung ini. Bukankah Allah SWT berfirman“Yaitu hari di mana tidak berguna lagi harta dan anak-anak mereka kecuali mereka yang datang menemui Allah dengan hati yang selamat selamat dari kesyirikan dan kotoran-kotorannya.” QS. Asy Syu’ara 88-89Inilah makna taqwa yang harus kita benahi, inilah karakter orang yang bertaqwa, yaitu orang yang berusaha keras melatih diri untuk membersihkan dan menyucikan jiwanya dari kesyirikan dan kotoran-kotoran yang berada pada dinding-dinding hatinya. Inilah esensi ketaqwaan yang Allah Ta’ala mengajarkannya kepada kita, begitulah Allah menjelaskannya kepada kita dan begitulah hakikat dari taqwa yang Allah maksudkan pada kita, yaitu hati yang bersih dari berbagai macam kesyirikan dan kotoran-kotoran yang melekat pada dinding hati.KEKELIRUAN PEMBAGIAN HAKIKAT DAN SYARI’AT ALA TARIKAT SUFIYAHSebagian kalangan tarikat Sufiyah membagi Islam menjadi dua bagian, yaitu syariat dan hakikat. Atau zhahir dan rahimahullah menjelaskan “Banyak kalangan Sufi yang membedakan agama menjadi hakikat dan syariat”[1]Yang dimaksudkan dengan syariat –menurut kaum Sufi- yaitu perkara apa saja yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya tanpa memerlukan adanya pentakwilan. Mereka menyebutnya dengan nama ilmu zhahir atau ilmu syariah. Menurut kalangan Sufi, golongan yang mengimani nash-nash syariat tanpa menggunakan takwil ini, masuk ke dalam kategori kelompok awam. Yang termasuk dalam klasifikasi ini -menurut kaca mata mereka- yaitu para imam empat, seluruh ulama fiqih fuqaha, dan ulama pengertian al-haqiqah hakikat, yaitu bisikan-bisikan hati dan mimpi-mimpi kaum Sufi, yang mereka yakini sebagai takwil penafsiran ilmu syariat. Ilmu ini dikenal dengan istilah ilmu bathin, dan para pemiliknya pun disebut ahlul-bâthin. Mereka inilah –menurut kalangan Sufi- yang dikategorikan sebagai manusia-manusia khâsh, yang menyandarkan cara pengamalan agama pada penakwilan nash-nash syariat. Bahkan kata mereka, ilmu bathin tersebut lebih tinggi daripada ilmu melabeli para ulama syariah dengan sebutan yang merendahkan. Seperti al-awwaam’ orang-orang awam, ahlu zhahir, al mahjubun kaum yang terhalangi dari ilmu. Bahkan, kata ahlu syubuhat dan hawa nafsu pun mereka lekatkan pada ulama Syarani menukil riwayat dari seorang tokoh Sufi, Nashr bin Ahmad ad Daqqaq, ia berkata “Kesalahan seorang murid ada tiga menikah, menulis hadits dan bergaul dengan ulama syariah“.Lain lagi dengan Syaikh Hamd an Nahlan at Turabi. Sebelumnya ia menyibukkan diri dengan mengajar ilmu fiqh. Akan tetapi, pasca mengenal tarikat, menghabiskan waktunya selama 32 bulan untuk berkholwat. Murid-muridnya pun memintanya untuk kembali mengajar. Akan tetapi ia menjawab “Saya dan al Khalil nama seorang ulama fiqih besar telah berpisah sampai hari Kiamat”[2]Hakikat “Ilmu Hakikat” Sufiyah Menurut seorang tokoh Sufi yang bernama Ibnu Ajîbah[3], bahwa orang yang membagi agama menjadi hakikat dan syariat ialah Nabi. Menurut Ibnu Ajîbah, Allah mengajarkannya kepada beliau Shallallahu alaihi wa sallam melalui wahyu dan ilham. Malaikat Jibril datang pertama kali membawa “syariat”. Dan tatkala “syariat” sudah mengakar, maka Malaikat Jabril turun untuk kedua kalinya dengan membawa “haqiqat”. Tetapi hanya sebagian orang yang memperolehnya. Dan orang yang pertama kali memunculkannya ialah Sayyiduna Ali.[4]Anggapan dan keyakinan seperti ini, tentu merupakan pemikiran bid’ah model baru. Karena sejak awal, kaum Muslimin tidak pernah mengenal pembagian ini. Kaum Muslimin tidak pernah memikirkannya, apalagi sampai mengakuinya. Benih pembagian agama menjadi “hakikat” dan “syariat” ini sebenarnya tumbuh dari sekte Syi`ah yang mengatakan bahwa setiap segala sesuatu memiliki sisi zhahir dan batin. Sehingga –menurut kaum Sufi- demikian pula dengan Al-Qur`an, ia mempunyai sisi zhahir dan batin. Setiap ayat dan kata-katanya memuat pengertian zhahir dan batin. Sisi batin itu tidak terdeteksi kecuali oleh kalangan hamba Allah yang khusus kaum khawâsh, yang –konon- Allah mengistimewakannya dengan karunia ini, bukan kepada orang selain mereka.[5]Oleh karena itu, kalangan Sufi yang memegangi bid’ah ini, mereka telah mengikuti jalan ta`wil, sehingga “terpaksa” banyak menggunakan bahasa-bahasa dan istilah yang biasa dipakai orang-orang Syi` Adanya “Hakikat” dan “Syari’at” Keyakinan yang telah mengakar pada sebagian penganut Sufi ini, memunculkan banyak konsekuensi buruk. Mulai dari berdusta terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam dan juga kebohongan terhadap para sahabat, terutama sahabat Abu Bakr, Umar, dan Utsman Radhiyallahu anhum. Beberapa konsekuensi ini mungkin saja tidak mereka sadari, atau bahkan mereka tolak, akan tetapi, demikianlah tentang kedustaan terhadap Allah Ta’ala,. Yaitu, mereka melakukan pembagian agama menjadi “hakikat” dan “syariat” itu turun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril Alaihissalam. Sedangkan kedustaan terhadap Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, bahwa adanya pembagian ini telah menyiratkan tuduhan terhadap Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, jika beliau Shallallahu alaihi wa sallam telah melakukan kitmânul-ilmi menyembunyikan sebagian ilmu dan tidak menjalankan amanah tabligh secara penuh. Padahal, terdapat ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala atas orang-orang yang menyembunyikan Subhanahu wa Ta’ala berfirmanاِنَّ الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ مَآ اَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنٰتِ وَالْهُدٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا بَيَّنّٰهُ لِلنَّاسِ فِى الْكِتٰبِۙ اُولٰۤىِٕكَ يَلْعَنُهُمُ اللّٰهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللّٰعِنُوْنَۙ“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua makhluk yang dapat melaknati”. [al- Baqarah/2159].Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ“Barang siapa yang ditanya ilmu, kemudian ia menyembunyikannya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membelenggu mulutnya dengan tali kekang dari neraka pada hari Kiamat kelak” [HR Abu Dawud].Sehingga tidak mungkin Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian ilmu. Anggapan itu, nyata merupakan pendapat yang mengada-ada. Ilmu apakah yang beliau sembunyikan? Padahal saat haji Wada`, beliau n telah mempersaksikan tentang tugasnya yang sudah disampaikannya secara utuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun telah menegaskan kesempurnaan Islam dalam Al-Qur` lontaran kebohongan terhadap para sahabat, yaitu anggapan bahwa para sahabat Radhiyallahu anhum adalah orang-orang sesat, bodoh, dan tidak mengenal ilmu hakikat yang dapat mendekatkan manusia kepada mahabatullah. Lontaran ini tentu merupakan kedustaan. Sebab mengandung hujatan yang meminggirkan peran para sahabat Radhiyallahu anhum, dan hanya menempatkan Sahabat Ali sajalah yang telah berperan dalam masalah ini, meskipun hakikatnya mereka pun berdusta atas nama Sahabat Ali Radhiyallahu khusus, kedustaan ini memuat dua semakin menguatkan adanya benang merah antara Sufi dan Syi’ ini merupakan petunjuk adanya hasad terpendam terhadap agama Islam. Karena pembagian agama dalam dua kutub “syariat” dan “hakikat”, di dalamnya mengandung usaha untuk menjauhkan umat Islam dari generasi terbaiknya, yaitu para sahabat Radhiyallahu anhum yang Allah memberikan taufik kepada kaum Muslimin untuk memahami agama Islam dengan cara yang Hiyash Shûfiyah, Syaikh Abdur-Rahmân Juyûsyil-Islâmiyyah lil-Imam Ibnil-Qayyim ma’a Mauqifihi min Ba’dhil-Firaq, Dr. Awwâd bin Abdullah al-Mu’tiq, Maktabah Rusyd, Cetakan III, Tahun 1419 H – 1999 M.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Naqdul-Ilmi wal-Ulama, hlm. 246-247. [2] Târîkh Baghdâd 2/331 [3] Ahmad bin Muhammad bin al Mahdi bin Ajîbah, dia adalah seorang tokoh Sufi, meninggal pada tahun 122H. Dia menulis sebuah kitab berjudul Iqâzhul-Himami fi Syarhil-Hikam [4] Iqâzhul-Himami fi Syarhil-Hikam 1/5. Dikutip dari halaman 149 Ijtimâ’ Juyûsyil-Islâmiyyah lil- Imam Ibnil-Qayyim ma’a Mauqifihi min Ba’dhil-Firaq, Dr. Awwâd bin Abdullah al-Mu’tiq [5] Mengenai aliran Bathiniyah, lihat kupasannya di Majalah As-Sunnah, Edisi 01/Tahun X/1427 H/2006 M, hlm. 54-57 Home /A9. Fiqih Dakwah Firqah.../Kekeliruan Pembagian Hakikat dan...
. 312 197 256 276 317 43 247 24