Namunjika yang dimaksud bukan lafadnya, yaitu materinya tashawwuf, hakikat, usul, dan sumber pembahasaanya tidak dikenal kecuali setelah qurun itu (3 Hijriah) maka kesalahan ucapan itu sungguh nyata, ketahuilah materi tashawwuf itu dari segi ibadah dan adab (secara keumumam ma'na ibadah dan adab budi pekerti) itu sangat nyata ada di dalam al SUDAH SAATNYA MENYADARI HAKIKAT AJARAN SUFI Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MAPENDAHULUAN Istilah “sufi” atau “tasawwuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat kebanyakan. Istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas masyarakat beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawwuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawwuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu melekat di tangan, dan bibir yang senantiasa komat-kamit melafazhkan dzikir. Semua ini semakin menambah keyakinan bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali kekasih Allah Azza wa membahas tentang hakikat tasawwuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan hanya dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata. Barometer sesuai tidaknya pemahaman tersebut, ialah menakarnya dengan Al-Qur`ân dan Sunnah menurut yang dipahami oleh al-Barbahâri rahimahullah mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya, Syarh as-Sunnah dengan ucapan beliau “Perhatikan dan cermatilah –semoga Allah Azza wa Jalla merahmatimu- semua orang yang menyampaikan satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali engkau terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai engkau tanyakan dan meneliti kembali, apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlus-Sunnah? Kalau engkau mendapatkan ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka radhiyallahu anhum, maka berpegang teguhlah engkau dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah sekali-kali engkau meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga akibatnya engkau akan terjerumus ke dalam neraka!”[1]Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang hakikat tasawwuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar atau tidaknya ajaran tasawwuf AJARAN TASHAWWUF Tasawwuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal pada zaman para sahabat Radhiyallahu anhum, bahkan tidak dikenal pada zaman tiga generasi yang utama generasi Sahabat, Tâbi’in dan Tabi’it Tâbi’in. Ajaran ini baru muncul sesudah masa tiga generasi ini.[2]Ajaran ini, pertama kali muncul di kota Bashrah, Irak, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota Islam lainnya.[3]Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata dalam kitab at-Tashawwuf, al-Mansya’ wa al-Mashdar hlm. 28 “Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawwuf klasik maupun modern, dan ucapan-ucapan mereka yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawwuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al- Qur`ân dan Sunnah. Dan sama sekali, tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawwuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat beliau Radhiyallahu anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah Azza wa Jalla. Justru sebaliknya, kita dapati ajaran tasawwuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nashrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi, dan kezuhudan model agama Budha”.[4]Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawwuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam. Hal ini nampak jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawwuf, amalan-amalan ibadah yang asing dan jauh dari petunjuk DASAR AJARAN TASHAWWUF YANG MENYIMPANG DARI PETUNJUK AL-QUR`ÂN DAN AS-SUNNAH[5] Orang-orang ahli tashawwuf –khususnya yang ada pada zaman sekarang– mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, dan menyimpang sangat jauh dari Al-Qur`ân dan Sunnah. Mereka membangun keyakinan dan tata cara peribadatannya berdasarkan simbol-simbol dan istilah-istilah yang mereka ciptakan sendiri, yang dapat disimpulkan sebagai berikutMereka membatasi ibadah hanya pada aspek al-mahabbah kecintaan saja dengan mengenyampingkan aspek-aspek lainnya, seperti aspek al-khauf rasa takut dan ar-raja` pengharapan, sebagaimana terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tashawwuf “Aku beribadah kepada Allah Azza wa Jalla , bukan karena aku mengharapkan masuk surga, dan juga bukan karena takut masuk neraka”. !? Memang benar, aspek al-mahabbah merupakan landasan ibadah. Akan tetapi, ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek al-mahabbah saja, seperti persepsi orang-orang ahli tashawwuf. Karena, ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain aspek al-mahabbah, misalnya aspek al-khauf, ar-raja`, adz-dzull penghinaan diri, al-khudhû` ketundukkan, do’a, dan aspek-aspek seorang ulama Salaf berkata “Barang siapa yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan kecintaan semata, maka dia adalah seorang zindiq kafir. Barang siapa yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pengharapan semata, maka dia adalah seorang Murji’ah. Barang siapa yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan ketakutan semata, maka dia adalah seorang Haruuriyyah Khawarij. Dan barang siapa yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan, maka dialah seorang mukmin sejati dan muwah–hid orang yang bertauhid dengan benar”.Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla memuji sifat para nabi dan rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut terhadap siksaan-Nya.[6]Orang-orang ahli tashawwuf, umumnya, dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al-Qur`ân dan Sunnah, tetapi, pedoman mereka adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka, serta ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka. Konkretnya dalam bentuk tarikat-tarikat bid’ah, berbagai macam dzikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri. Tidak jarang pula mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita khurafat yang tidak jelas kebenarannya, mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata “Orang-orang ahli tashawwuf, dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla , mereka berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang Nashrani. Yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya. Kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang nabi/rasul yang terjaga dari kesalahan. Maka demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli tashawwuf, mereka menjadikan para pemimpin dan guru-gurunya sebagai penentu/pembuat syari’at agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nashrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/pembuat syari’at agama bagi mereka”.Termasuk doktrin ajaran tashawwuf, ialah keharusan berpegang teguh dengan dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat Hingga merasa cukup dengan produk dzikir-dzikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan selalu membacanya. Bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca dzikir-dzikir tersebut lebih utama daripada membaca Al-Qur`ân, dan mereka menamakannya dengan “dzikirnya orang-orang khusus”. Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al-Qur`ân dan Sunnah, mereka namakan dengan “dzikirnya orang-orang umum”. Kalimat thayyibah lâ ilaha illallah, menurut mereka termasuk “dzikirnya orang-orang umum”. Adapun “dzikirnya orang-orang khusus” ialah melantunkan kata tunggal ا للة dengan berulang-ulang. Lebih aneh lagi, mengulang-ulang kata Huwa/Dia, mereka sebut sebagai “dzikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus”.Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata “Barang siapa yang beranggapan bahwa kalimat Lâ ilaha Illallah adalah dzikirnya orang-orang umum, dan dzikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal ا للة, serta dzikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti Huwa/Dia, maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan”.Sikap ghuluw berlebih-lebihan/ekstrim orang-orang ahli tashawwuf terhadap orang-orang yang mereka anggap telah mencapai kedudukan wali’ atau terhadap guru-guru tarikat mereka. Pengertian wali dalam kamus mereka bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh Al-Qur`ân. Wali kekasih Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk kepada Allah Azza wa Jalla. Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani ditegaskan di sini, bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan bagi orang-orang tertentu saja. Akan tetapi, setiap orang yang beriman dan bertakwa, maka ia adalah wali kekasih Allah Azza wa Jalla . Kedudukan sebagai wali Allah Azza wa Jalla juga tidak menjadikan diri seseorang terjaga dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ makna “wali” menurut kalangan ahli tashawwuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Orang-orang ahli tashawwuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu yang bertentangan dengan petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah dalam masalah ini. Mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu saja tanpa dilandasi dengan dalil syari’at yang menunjukkan kewalian orang-orang tidak jarang, mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, atau kepada orang yang dikenal mempunyai penyimpangan dalam keimanan. Seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla , melakukan hal-hal yang aneh-aneh atau di luar dapat menjumpai mayoritas orang-orang ahli tashawwuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia. Seperti terbang di udara menuju ke Makkah atau tempat-tempat lainnya. Terkadang berjalan di atas air, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menyelesaikan keperluannya, memberitahukan tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan hal-hal yang ghaib tidak nampak, dan lain-lain. Padahal, kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah Azza wa Jalla .Kaum mukminin telah sepakat dan sependapat mengatakan, jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terpedaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat, apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam? Apakah orang tersebut selalu mentaati perintah beliau Shallallahu alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya? Karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab, ataupun orang munafik. Bisa juga dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin. Oleh karena itu, setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas, sama sekali, tidak boleh dianggap sebagai wali Allah.[7]Kemudian, ternyata kesesatan orang-orang ahli tashawwuf tidak sampai di sini saja. Sebab, sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti mengetahui hal-hal yang ghaib. Pada gilirannya, menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allah Azza wa Jalla .Termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang sesat adalah mendekatkan diri ? kepada Allah Azza wa Jalla dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan. Semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla ?!. Dr. Shâbir Thu’aimah berkata dalam kitab ash-Shûfiyyah, Mu’taqadan wa Maslakan “Saat ini, tarian shufi modern telah dipraktekkan oleh mayoritas tarikat Shufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka. Para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik, yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita. Sedangkan para murid senior, dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat bohong yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”.Juga termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang sesat, yaitu apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan, yang jika seseorang telah mencapainya, maka ia akan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran tashawwuf. Karena asal mula ajaran tashawwuf ialah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan berupaya memalingkannya dari akhlak-akhlak yang jelek, dan membawanya pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan jujur, menurut klaim mereka. Tidak diragukan lagi –menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman– bahwa ucapan ini termasuk kekufuran yang paling besar. Bahkan ucapan ini lebih buruk dari pada ucapan orang-orang Yahudi dan Nashrani. Karena orang-orang Yahudi dan Nashrani, mereka mengimani sebagian isi kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya. Dan mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya. Mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla , meyakini janji dan ancaman-Nya. Kesimpulannya, orang-orang Yahudi dan Nashrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus dengan datangnya agama Islam dan telah mengalami perubahan dan rekayasa, mereka ini lebih baik keadaannya dibandingkan orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla secara keseluruhan. Karena dengan keyakinan tersebut, berarti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua agama. Mereka, sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla . Bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih berpegang kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang masih berpegang dengan sebagian dari ajaran Nabi Ibrahim Shallallahu alaihi wa sallam .Untuk membenarkan keyakinan tersebut, di antara mereka ada yang berargumentasi dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut iniوَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُBeribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini kematian. [al-Hijr/15 99].Kata mereka “Makna ayat di atas ialah, sembahlah Rabbmu sampai kamu mencapai tingkatan ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya maka gugurlah kewajiban melaksanakan ibadah atas dirimu …”.Padahal pada hakikatnya, ayat ini justru menyanggah anggapan pandangan mereka. Dikatakan oleh Hasan al-Bashri rahimahullah “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian,” kemudian Hasan al-Bashri rahimahullah membaca ayat di ayat di atas sangat jelas menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal, sampai ketika kematian datang menjemputnya. Dalam ajaran Islam, sama sekali tidak ada yang dinamakan dengan tingkatan/keadaan, yang jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana persangkaan orang-orang ahli Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa ajaran tashawwuf merupakan ajaran sesat yang menyimpang, sangat jauh dari petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah. Dengan mengamalkan ajaran ini –na’udzu billah min dzalik– seseorang bukannya semakin dekat dengan Allah Azza wa Jalla , tetapi justru semakin jauh dari-Nya. Dan hatinya, bukan semakin bersih, akan tetapi malah semakin kotor dan penuh jika muncul pertanyaan “Kalau begitu, bagaimana usaha yang harus kita lakukan untuk mensucikan jiwa dan hati kita?” Maka jawabannya, sangat sederhana, yaitu pelajari dan amalkan syari’at Islam ini lahir dan batin; dengan itulah jiwa dan hati kita akan bersih.[8] Karena di antara tugas utama yang dibawa para rasul ialah mensucikan jiwa dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allah Azza wa Jalla .Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan al-Hikmah as-Sunnah. Dan sesungguhnya sebelum kedatangan Nabi itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. [Ali Imrân/3164].Maka, orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan petunjuk Al-Qur`aan dan Sunnah dengan baik dan benar, maka dialah yang paling bersih, suci hati dan jiwanya. Dan dialah yang paling bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla . Karena semua orang berilmu sepakat mengatakan, bahwa penghalang utama yang menghalangi seorang manusia dekat dengan Allah Azza wa Jalla ialah kekotoran jiwanya.[9]Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memberikan permisalan bahwa petunjuk dan ilmu yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau Shallallahu alaihi wa sallam , ibarat air hujan yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari langit. Sebagaimana fungsi air hujan ialah menghidupkan, membersihkan, dan menumbuhkan kembali tanah yang tandus dan gersang. Maka demikian pula petunjuk dan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , adalah untuk menghidupkan, mensucikan dan menumbuhkan hati Ta’ala a’lam.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Syarh as-Sunnah, Imam al-Barbahâri hlm. 61, Tahqiq Syaikh Khâlid ar-Raddâdi. [2] Lihat Haqîqat ash-Shufiyyah, hlm. 14. [3] Majmu’ al-Fatâwa, 11/6. [4] Ibid., hlm. 14. [5] Ringkasan dari pembahasan “Mauqif ash-Shûfiyyah min al Ibâdah wa ad-Dîn”, oleh Syaikh Shâlih al-Fauzân dalam kitabnya, Haqiqat at-Tashawwuf, hlm. 17-38, dengan sedikit perubahan. [6] Lihat, misalnya firman Allah l dalam surat al-Anbiyâ`/21 ayat 90, dan ayat-ayat lainnya. [7] Majmu’ al-Fatâwa, 11/215. [8] Untuk lebih jelasnya, silahkan menelaah kitab Manhajul Anbiyâ` fî Tazkiyatin-Nufûs, karya Syaikh Salîm al-Hilâli, yang ditulis khusus untuk menjelaskan permasalahan penting ini. [9] Seperti disimpulkan oleh Imam Ibnul Qayyim t dalam kitabnya, Igatsatul-Lahafan dan al-Fawa’id. Home /A9. Fiqih Dakwah Firqah.../Sudah Saatnya Menyadari Hakikat... Dalamsejarah perkembangannya, Sufi dan Tasawuf beriringan. Beberapa sumber dari kitab-kitab yang berkait dengan sejarah Tasawuf memunculkan berbagai definisi. semata karena kebodohannya terhadap hakikat Tasawuf itu sendiri. Menurutnya Tasawuf merupakan bentuk amaliyah, ruh, rasa dan pekerti dalam Islam itu sendiri. antara lain: Taubat
Syukur merupakan kata yang lazim diucapkan dalam keseharian masyarakat. Syukur menjadi pembahasan dalam bab tersendiri dalam kajian tasawuf. Syukur dibahas dengan beragam pandangan orang-orang sufi dalam ar-Risalatul Qusyairiyyah. Pembahasan syukur dalam ar-Risalatul Qusyairiyyah diawali dengan kutipan Surat Ibrahim ayat 7 لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ Artinya, “Sungguh, jika kalian bersyukur, niscaya Kutambahkan nikmat kalian,” Surat Ibrahim ayat 7. Terkait syukur, al-Qusyairi mengutip sebuah hadits yang menceritakan Atha dan Ubaid bin Umair. Suatu hari keduanya menemui sahabat Aisyah ra. “Kabarkan kepada kami apa yang paling mengherankanmu dari perbuatan Rasulullah saw!” kata Atha. Siti Aisyah ra menangis. Ia kemudian bercerita bahwa suatu malam Rasulullah saw mendatanginya dan berbaring di kasurnya atau di dalam selimutnya sehingga kulit keduanya saling bersentuhan. “Wahai putri Abu Bakar, biarkan aku beribadah kepada Allah malam ini,” katanya. “Aku senang dekat dengamu Rasulullah,” jawab Aisyah ra. Rasulullah saw kemudian mendekati kirbat berisi air dan berwudhu. Pada kesempatan ini Rasulullah menuang banyak air untuk wudhunya. Aisyah pun merelakan suaminya beribadah menghidupkan malam. Rasulullah saw mulai melakukan shalat. Ia menangis. Air matanya mengalir sehingga membasahi dadanya. Ia turun untuk rukuk. Pada rukuk ini ia juga menangis. Kemudian itidal dan sujud. Ia juga bersujud dalam keadaan menangis. Bangun dari sujud ia juga menangis. Rasulullah saw terus melakukan shalat dengan menangis sepanjang malam sampai Bilal ra datang untuk mengabarkannya azan subuh. “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosamu yang dahulu dan kemudian,” tanya Aisyah ra. “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur dan mengapa aku tidak melakukannya?” jawab Rasulullah. * Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI menyebut pengertian syukur sebagai rasa terima kasih kepada Allah swt. Adapun berikut ini adalah hakikat syukur yang disebutkan oleh al-Qusyairi. حقيقة الشكر عند أهل التحقيق الاعتراف بنعمة المنعم على وجه الخضوع Artinya, “Hakikat syukur menurut ahli hakikat adalah pengakuan atas nikmat Allah, Zat pemberi nikmat, dengan jalan ketundukan,” Lihat Abul Qasim Al-Qusyairi, ar-Risalatul Qusyairiyyah, [Kairo, Darus Salam 2010 M/1431 H], halaman 97. Hakikat syukur dapat juga berarti pujian terhadap orang yang berbuat baik dengan menyebut kebaikannya. Dengan demikian, syukur seorang hamba kepada Allah adalah pujian kepada Allah dengan menyebut kebaikan-Nya. Sedangkan syukur Allah kepadanya berupa pujian Allah dengan menyebut kebaikan hamba-Nya. Adapun kebaikan seorang hamba adalah ketaatannya kepada Allah. Sedangkan kebaikan Allah adalah pemberian nikmat Allah kepadanya berupa taufik dan hidayah agar ia mau bersyukur. Syukur atas nikmat Allah diucapkan dengan mulut dan disadari dengan hati. Sedangkan sebagian ulama membagi syukur dengan tiga ekspresi, pengakuan dengan lisan atas nikmat Allah, kepatuhan oleh anggota badan atas ibadah yang diperintahkan, dan syukur hati dengan musyahadah. Al-Qusyairi, 2010 M/1431 H 97-98. Abu Ustman mengatakan, syukur adalah menyadari keterbatasan kita untuk bersyukur. Ulama lainnya menambahkan, syukur karena bisa bersyukur merupakan nikmat yang lebih sempurna dari sekadar mensyukuri nikmat karena kita meyadari bahwa tanpa taufik-Nya kita takkan dapat bersyukur. Al-Junaid ketika berusia 7 tahun mengatakan saat ditanya pamannya di hadapan para jamaah "Syukur itu adalah kau tidak bermaksiat kepada Allah dengan nikmat-Nya." Abu Ustman mengatakan, syukur orang awam terkait dengan nikmat makanan, pakaian, dan material lainnya, sedangkan syukur orang khawash terkait pengertian dan pemahaman yang masuk ke dalam batin mereka. Nabi Dawud as mengatakan, “Tuhanku, bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu? Syukurku atas nikmat-Mu merupakan nikmat batin tersendiri dari sisi-Mu.” Suatu hari seseorang menemui Sahal bin Abdullah at-Tustari. Ia mengadu musibah kehilangan bahwa seorang pencuri masuk ke dalam rumahnya dan mengambil barang berharganya. “Bersyukurlah kepada Allah. Bagaimana kalau pencuri yaitu setan masuk ke dalam hatimu dan merusak keyakinanmu?” kata At-Tustari. Wallahu a’lam. Ustadz Alhafiz Kurniawan
PerjalananSufi Hamdun. Kisah Cinta Terhadap Nabi Muhammad SAW 1000 Tahun Sebelum Kelahiran Nabi SAW. Mistikus Cinta 0 Hakikat Cinta June 16, 2022 Kisah Cinta Terhadap Nabi Muhammad SAW 1000 Tahun Sebelum Kelahiran Nabi SAW Rahasia Huruf Mim [ م ] Dalam Tasawuf. Kembalilah pada Tuhan, karena manusia adalah serpihan-Nya, itulah
JAKARTA- Kitab Ar-Risalah merupakan salah satu magnum opus Syekh Abul Qasim Abdul Karim Hawazin bin Muhammad al-Qusyairi an-Naisaburi. Kitab yang ditulis sufi dari abad ke-11 M, ini mencoba mendudukkan tasawuf pada relnya. Dalam kalam pembuka, Imam al-Qusyairi, begitu tersohor dikenal, menulis tentang kaum sufi, Allah benar-benar telah menjadikan kaum ini sebagai kelompok para waliyullah para wali terpilih, mengutamakan mereka atas semua hamba-Nya setelah para rasul dan nabi- Nya. Allah SWT menjernihkan mereka dari segala kotoran sifat manusia; melembutkan hati dan rohani mereka pada pencapaian tempat-tempat musyahadat persaksian rohani pada kebesaran dan rahasia kegaiban Allah SWT. Ia meneruskan, “Ketahuilah, sesungguhnya ahli hakikat sebagian besar telah punah; tidak ada yang tersisa pada masa kita dari kelompok ini kecuali hanya bekas-bekasnya. Sungguh, kelemahan telah terjadi di kelompok ini, bahkan mereka terkikis dari peran kehidupan.” Al-Qusyairi juga mengkritik sikap yang memandang diri dan kelompok berdiri di atas kebenaran. Dengan sikap itu, lahirlah egoisme yang berupaya menyingkirkan siapa pun yang dianggap berseberangan pandangan. “Kebencian yang didasarkan perasaan iri menyebabkan mereka menyebut para pengikut thariqah dengan sebutan yang jelek,” tulisnya. Pada bagian itu, ia mengungkapkan motivasinya dalam menulis Ar-Risalah. Menurut sang imam, banyak pihak yang sesungguhnya belum mengetahui disiplin tasawuf, tetapi mereka dengan lantang mengecam kaum sufi. Sebab, orang-orang itu justru kurang memahami hakikat dan prinsip-prinsip tarekat. Terutama sekali, kalangan fuqaha yang rajin mencari-cari kesalahan pelaku tasawuf akibat dari pemahaman mereka yang tidak mendalam. Ar-Risalah menyatakan, tasawuf adalah aktivitas roh, asah rasa dan olah perilaku yang dilakukan karena dorongan cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Dalam surat al-A'la ayat 4-5 disebutkan قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّىٰ وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia menegakkan sholat.” Al-Qusyairi menegaskan, para mursyid atau guru kaum sufi telah membangun kaidah-kaidah ajaran dengan berdasar pada prinsip tauhid. Mereka menjaganya dari bid'ah. Karena itu, pandangannya dekat dengan para ulama terdahulu salaf ash-shalih serta ahli sunah Rasul SAW. “Tidak didapati dalam ajaran mereka Red unsur-unsur penyerupaan pada al-Haqq panteisme dan peniadaan ateisme,” tulis sang cendekiawan. sumber Harian RepublikaBACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini

Sayaberkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3 ilmu: Mereka mengajariku bagaimana berbicara, Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan kelembutan hati, Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawwuf.” (Riwayat dari kitab Kasyf al-Khafa dan Muzid al Albas, Imam ‘Ajluni, juz. 1, hal. 341)

Sayyidina Ali Karromallahu wajhah menerangkan bahwa sejatinya taqwa tidaklah sekedar istitsalul awamir waj tinabun nawahi, tetapi taqwa itu adalah الØÙˆÙ من الجليل والعمل بالتنزيل والقناعة بالقليل والإستعداد ليوم الرحيل takut kepada Allah yang bersifat Jalal, dan beramal dengan dasar al-Qur’an at-tanzil dan menerima qona’ah terhadap yang sedikit, dan bersiap-siap menghadapi hari perlihan hari akhir. إنَ٠الْحَمْدَ لِلَÙهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ Ø³ÙŽÙŠÙÙØ¦ÙŽØ§ØªÙ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَ٠لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَ٠اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ Ø£ÙŽÙ†ÙŽÙ Ù…ÙØ­ÙŽÙ…ÙŽÙØ¯Ù‹Ø§ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَÙهُمَ٠صَلِ٠وَسَلِÙمْ عَلَى نَبِيِÙنَا Ù…ÙØ­ÙŽÙ…ÙŽÙØ¯Ù وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. يَا أَيُÙهَا Ø§Ù„Ù†ÙŽÙØ§Ø³Ù أُوْصِيْكُمْ ÙˆÙŽØ¥ÙÙŠÙŽÙØ§ÙŠÙŽ Ø¨ÙØªÙŽÙ‚Ù’ÙˆÙŽÙ‰ اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَÙقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى يَا أَيُÙهاَ Ø§Ù„ÙŽÙØ°ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ ءَامَنُوا اتَÙقُوا اللهَ حَقَ٠تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَ٠إِلاَ٠وَأَنتُمْ Ù…ÙÙØ³Ù’لِمُوْنَ. قَالَ تَعَالَى يَا أَيُÙهَا Ø§Ù„Ù†ÙŽÙØ§Ø³Ù اتَÙقُوْا رَبَÙكُمُ Ø§Ù„ÙŽÙØ°ÙÙŠÙ’ ØÙŽÙ„َقَكُمْ مِÙنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ÙˆÙŽØÙŽÙ„ÙŽÙ‚ÙŽ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَØÙŽÙ مِنْهُمَا رِجَالاً ÙƒÙŽØÙÙŠÙ’رًا وَنِسَآءً وَاتَÙقُوا اللهَ Ø§Ù„ÙŽÙØ°ÙÙŠÙ’ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَ٠اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. يَا أَيُÙهَا Ø§Ù„ÙŽÙØ°ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ ءَامَنُوا اتَÙقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُØÙØ¹Ù اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah Marilah bersama-sama kita saling menasehati akan pentingnya meningkatkan ketaqwaan kepada Allah swt. sesungguhnya ketaqwaan merupakan kunci menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Jama’ah Jum’ah yang Dirahmati Allah Seringkali kita mendengar istilah taqwa’ begitu seringnya sehingga tidak terpikir oleh kita apakah sejatinya makna taqwa. Seolah-olah ketika telinga kita menangkap kata taqwa’ maka sudah menjadi mafhum bahwa yang dimaksudkan adalah menjalankan berbagai amal shaleh. Padahal tidak selamanya demikian. Memang, sebagain ulama mempermudah pemahaman taqwa dengan menjelaskan bahwa taqwa adalah ’imtitsalul awamiri waj tinabun nawahi’ mengerjakan segala perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. kalimat sederhana yang terkesan sangat global. Sehingga mudah diingat namun susah dicerna dan dijabarkan, mungkin karena terlalu singkat. Oleh karenanya dalam kesempatan ini khatib ingin sekali menerangkan makna taqwa sebagaimana diterangkan oleh Sayyidina Ali Karromallahu wajhah yang dikutip dalam kitab al-Manhajus Sawi, oleh al-allamah al-Muhaqqiq al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith. Sayyidina Ali membeberkan kepada kita makna taqwa yang terbentang dalam empat hal yaitu; الØÙˆÙ من الجليل والعمل بالتنزيل والقناعة بالقليل والإستعداد ليوم الرحيل Bahwa taqwa adalah takut kepada Allah yang bersifat Jalal, dan beramal dengan dasar al-Qur’an at-tanzil dan menerima qona’ah terhadap yang sedikit, dan bersiap-siap menghadapi hari akhir perlihan hari akhir. Jama’ah jum’ah yang berbahagia Pertama; Al-khaufu minal Jalil artinya bahwa taqwa itu akan menjadikan seseorang merasa takut kepada Allah swt yang memiliki sifat Jalal. Takut melanggar berbagai aturan dan ketentuan-Nya. Sehingga apapun yang akan diperbuatnya selalu dipertimbangkan terlebih dahulu. Tangan tidak akan digunakan untuk memungut benda yang bukan miliknya tanpa izin. Kaki tidak digunakan untuk berjalan ke aarah yang salah, demikian juga mata dan telinga tidak akan difungsikan sebagai alat mendurhakai-Nya. Maka taqwa dalam bingkai Al-khaufu minal Jalil, lebih bernuansa penghindaran dan pencegahan’ dari pada pelaksanaan’. Karena sesungguhnya ketakutan’ itu akan menyebabkan seseorang enggan melakukan tindak kesalahan. Seperti halnya seorang anak kecil yang takut bermain air hujan karena takut kepada orang tuanya. Kedua; wal amalu bit tanzil, menghindari sesuatu karena takut kesalahan dalam konsep taqwa tidak lantas menjadikan seseorang tidak berbuat apa-apa, karena hal taqwa juga menuntut tindakan baik yang berdasar pada al-Qur’an yang diturunkan at-tanzil sebagai pedoman hidup dan dasar bersyariat bagi kaum muslim. Maka segala amal orang yang bertaqwa berdasar pada al-Qur’an, dan mereka tidak akan melakukan sesuatu secara serampangan tanpa adanya dalil yang mendasarinya baik al-Qur’an, Hadits, Ijam’ maupun qiyas. Jama’ah jum’ah yang Dimuliakan Allah Ketiga; al-Qana’atu bil Qalil, artinya orang yang bertaqwa akan selalu merasa cukup dengan rizki yang sedikit, sesungguhnya orang yang memiliki rizqi yang sedikit dan merasa cukup dengan rizqi tesebut adalah bukti sekaligus tanda bahwa orang itu dicintai oleh Allah swt. Sebagaimana yang disabdakan rasulullah saw. إن الله إذا أحب عبدا رزقه كفافا Bahwa jika Allah mencintai seorang hamba ia akan memberikan rizki yang pas-pasan kepadanya. Artinya pas-pasan adalah tidak memiliki kelebihan selain untuk menutupi kebutuhan pokoknya, inilah tanda orang taqwa yang dicintai Allah swt. Oleh karena itu dalam kenyataannya tidak seorangpun hamba yang hidup pas-pasan bertindak secara berlebihan, berhura-hura dan doyan belanja. Karena berbagai macam keglamouran hidup itu sangat dibenci oleh Allah swt. menyebabkan manusia melupakan Tuhannya. Itulah bukti hamba itu dicintai oleh Allah. Berbeda sekali dengan seorang yang memiliki limpahan harta yang berlebih. Maka di kala waktu luang setan akan segera menghampirinya dan membujuk untuk berbuat hura-hura, jalan-jalan berekreasi ke tepi pantai atau santai santai di menikmati keremangan malam atau malah mencari kesibukan diluar pengetahuan pasangannya. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang sepertin ini. Maka menjadi amat penting memeperhatikan sabda Rasulullah saw selanjutnya yang berbunyi ØÙˆØ¨Ù‰ لمن هدي الإسلام وكان رزقه كفافا ورضي به Beruntung sekali orang yang mendapatkan petunjukIslam, yang mempunyai rizqi pas-pasan dan rela dengan rizqi yang pas-pasan itu. Ridhda atau rela dengan kesedikitan itu menjadi satu sarat tersendiri. Sebagai pertandanya orang tersebut tidak pernah berkeluh-kesah akan keadaanya. Banyak sekali hamba yang merasa cukup dengan rizqi yang diterimanya, saying sekali ia sering keluhan-keluhan. Sesungguhnya hal yang demikian itu mengurangi ketaqwaan. Dan keempat, al-isti’dadu li yaumir rakhil, adalah bersiap-siap menghadapi hari perpindahan. Perpindahan dari alam dunia ke alam kubur lalu ea lam akhirat. Artinya segala amal orang yang bertaqwa senantiasa dalam ranga menyiapkan diri akan hadirnya hari kematian. yaitu hari keberangkatan dari alam dunia menuju alam akhirat. Oleh karena itu ketika Rasulullah ditanya “siapakah manusia yang paling cerdas dan paling mulia di hadapan Allah?” beliau menjawab mereka adalah manusia yang Ø£ÙƒØØ±Ù‡Ù… ذكرا للموت وأشدهم إستعدادا له Manusia yang paling banyak mengingat kematian dan paling semangat mempersiapka diri menghadapinya. Ini juga merupakan tuntunan praktis bagi umat muslim meningkatkan ketaqwaannya, yaitu selalu mengingat kematian Karena, seorang yang mengingat kematian ia tidak akan mudah terjerumus dalam kubangan dosa. Demikianlah khotbah jum’ah kali ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي ÙˆÙŽØ¥ÙŠÙŽÙØ§ÙƒÙÙ…Ù’ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذكْر ِالْحَكِيْمِ وَتَقَبَÙÙ„ÙŽ مِنِÙÙŠ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَÙهُ هُوَ السَÙمِيْعُ اْلعَلِيْمُ Khutbah II اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُÙكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَ٠اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ Ø§ÙŽÙ†ÙŽÙ Ø³ÙŽÙŠÙÙØ¯ÙŽÙ†ÙŽØ§ Ù…ÙØ­ÙŽÙ…ÙŽÙØ¯Ù‹Ø§ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ Ø§Ù„Ø¯ÙŽÙØ§Ø¹ÙÙ‰ اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَ٠صَلِ٠عَلَى Ø³ÙŽÙŠÙÙØ¯ÙÙ†ÙŽØ§ Ù…ÙØ­ÙŽÙ…ÙŽÙØ¯Ù وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِÙمْ تَسْلِيْمًا كِØÙŠÙ’Ø±Ù‹Ø§Ø§ÙŽÙ…ÙŽÙØ§ بَعْدُ فَياَ اَيُÙهَا Ø§Ù„Ù†ÙŽÙØ§Ø³Ù اِتَÙقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا Ø¹ÙŽÙ…ÙŽÙØ§ نَهَىوَاعْلَمُوْا اَنَ٠الله٠اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ ÙˆÙŽØÙŽÙ€Ù†ÙŽÙ‰ بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَ٠اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُÙوْنَ عَلىَ Ø§Ù„Ù†ÙŽÙØ¨ÙÙ‰ يآ اَيُÙهَا Ø§Ù„ÙŽÙØ°ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ آمَنُوْا صَلُÙوْا عَلَيْهِ وَسَلِÙمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَ٠صَلِ٠عَلَى Ø³ÙŽÙŠÙÙØ¯ÙÙ†ÙŽØ§ Ù…ÙØ­ÙŽÙ…ÙŽÙØ¯Ù صَلَÙÙ‰ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِÙمْ وَعَلَى آلِ Ø³ÙŽÙŠÙÙØ¯ÙÙ†Ø§ÙŽ Ù…ÙØ­ÙŽÙ…ÙŽÙØ¯Ù وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ Ø§Ù’Ù„Ù…ÙÙ‚ÙŽØ±ÙŽÙØ¨ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ وَارْضَ اللÙهُمَ٠عَنِ اْلØÙÙ„َفَاءِ Ø§Ù„Ø±ÙŽÙØ§Ø´ÙØ¯ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُØÙ’مَان وَعَلِى وَعَنْ Ø¨ÙŽÙ‚ÙÙŠÙŽÙØ©Ù Ø§Ù„ØµÙŽÙØ­ÙŽØ§Ø¨ÙŽØ©Ù ÙˆÙŽØ§Ù„ØªÙŽÙØ§Ø¨ÙØ¹ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ وَتَابِعِي Ø§Ù„ØªÙŽÙØ§Ø¨ÙØ¹ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِÙيْنِ وَارْضَ Ø¹ÙŽÙ†ÙŽÙØ§ مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ Ø§Ù„Ø±ÙŽÙØ§Ø­ÙÙ…ِيْنَاَللهُمَ٠اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَ٠اَعِزَ٠اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ ÙˆÙŽØ£ÙŽØ°ÙÙ„ÙŽÙ Ø§Ù„Ø´ÙÙØ±Ù’ÙƒÙŽ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ Ø§Ù’Ù„Ù…ÙÙˆÙŽØ­ÙÙØ¯ÙÙŠÙŽÙةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِÙيْنَ وَاØÙ’ذُلْ مَنْ ØÙŽØ°ÙŽÙ„ÙŽ اْلمُسْلِمِيْنَ ÙˆÙŽ Ø¯ÙŽÙ…ÙÙØ±Ù’ اَعْدَاءَالدِÙيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِÙيْنِ. اللهُمَ٠ادْفَعْ Ø¹ÙŽÙ†ÙŽÙØ§ اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَÙلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَØÙŽÙ†ÙŽ Ø¹ÙŽÙ†Ù’ بَلَدِنَا Ø§ÙÙ†Ù’Ø¯ÙÙˆÙ†ÙÙŠÙ’Ø³ÙÙŠÙŽÙØ§ ØØ¢ØµÙŽÙةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ Ø¹Ø¢Ù…ÙŽÙØ©Ù‹ يَا رَبَ٠اْلعَالَمِيْنَ. رَبَÙنَا آتِناَ فِى الدُÙنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآØÙØ±ÙŽØ©Ù حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ Ø§Ù„Ù†ÙŽÙØ§Ø±Ù. رَبَÙنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَ٠مِنَ اْلØÙŽØ§Ø³ÙØ±ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ. عِبَادَاللهِ ! اِنَ٠اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَÙكُمْ ØªÙŽØ°ÙŽÙƒÙŽÙØ±ÙÙˆÙ’Ù†ÙŽ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ Redaktur Ulil Hadrawy

Sedangkanal-Ahwal adalah suatu rasa khauf, tawadhdhu’, taqwa, ikhlas, syukr dan muthma’innah di dalam diri seorang sufi. Tawbah merupakan suatu tindakan yang dilakukan seorang sufi untuk membersihkan dirinya dari dosa dengan cara menyadari dosa yang telah ia lakukan, mengakui, menyesali dan melakukan perbaikan atas kesalahannya.

Orang yang bertaqwa ialah orang yang kesholehan pribadinya mampu untuk melahirkan kesholehan sosial. Inilah sikap yang menyebabkan sebuah peradaban pada zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam terbangun saat usianya masih sangat hanya dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun keadilan mampu ditegakkan, kemaksiatan terkarantina, kesenjangan sosial dapat tersingkirkan, kekufuran terkubur dan keharmonisan terbangun. Sehingga setan pun putus asa untuk kembali eksis di baitullah, setan berputus asa untuk mengajak manusia menyembah berhala di hadapan ka’ pada saat zaman Umar bin Abdul Azis, hanya dalam kurun waktu 2,6 tahun mampu meraplikasi ketaqwaan sahabat-sahabat senior pada masa kekuasaannya. Sehingga, beliau diberi gelar sebagai khalifah ke-5. Begitulah esensi taqwa yang meresap ke dalam jiwa.“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” QS. al-Baqarah 183Ayat ini merupakan ayat yang menjadi dalil tentang kewajiban bagi orang yang beriman untuk melaksanakan puasa yaitu puasa yang dapat melahirkan karakter taqwa, output nya ialah sebuah sikap taqwa dalam pribadi-pribadi kaum muslimin yang teraplikasikan dalam kehidupan nyata, bukan angan-angan, bukan sekedar teori, bukan sekedar hiasan grand design yang Allah Subhanahu wa Ta’ala syariatkan untuk kita berpuasa di dalamnya, inilah hasil akhir yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan ibadah puasa sebagai perangkatnya, yaitu bagi kita yang benar dalam menjalankan kita menjadi manusia yang bertaqwa, manusia yang terbimbing dengan sentuhan ilahiyah, manusia yang terbimbing dengan sentuhan tarbiyah Rabbaniyah, sehingga terpancar dari kita sikap taat terhadap perintah-Nya, sehingga terpancar dari kita akhlak mulia dari pergaulan keseharian, terpancar dari kita kesibukan yang dapat membersihkan hati dan menata diri dari hal-hal yang tidak di ridhoi oleh Allah Ta’ Al-Qur’an kita sama dengan yang ada pada mereka? Bukankah hadits-hadits yang menjadi sandaran kita sama dengan hadits yang mereka terima? Jika kita tak mengingkari bahwa kedua sumber pedoman itu sama dengan apa yang mereka jadikan apa yang menjadi masalah hingga output nya berbeda begitu jauh sekali. Esensi dari makna taqwa inilah yang perlu kita benahi jika kita menginginkan output yang sama dengan apa yang diraih oleh generasi terbaik ummat ini, generasi sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa yang bertaqwa bukanlah mereka yang sibuk dengan tampilan luar namun lupa bagian dalamnya, mereka yang sibuk memperbaiki bagian luar namun lupa memperbaiki bagian yang hanya sibuk memperbaiki ibadah-ibadah mahdahnya namun melupakan hubungannya kepada sesama manusia, mereka benci pada persatuan dan gemar memecah belah ummat, orang-orang yang suka mencela dan menghina orang lain, serta orang-orang yang merasa lebih dan lebih berilmu dari orang artinya kita berpuasa namun tidak melahirkan sikap taqwa dalam jiwa, kita Qiyamul Lail jika hanya melahirkan sikap sombong, kita tilawah Al-Qur’an namun lisan ini tidak terjaga, kita bersedekah jika disertai dengan merendahkan orang lain, kita berzakat namun selimut kedengkian tidak mampu kita singkirkan, kita mengkaji Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam jika hanya melahirkan kesibukan pada kesalahan orang lain, dan kita menghabiskan waktu pada majelis ilmu jika hanya melahirkan sikap mendikte amal-amal yang dikerjakan orang kebaikan dari amal-amal sholeh itu tidak akan mampu menyelamatkan kita dari siksa api neraka jika kita tidak menghiraukan hati yang berkarat ini, jika hati kita tidak selamat di bulan yang mulia, jika hati kita terbalut dengan kedengkian-kedengkian terhadap orang lain, jika hati kita dipenuhi kebencian terhadap sesama muslim, jika hati kita terbungkus dengan kesombongan, dan jika hati-hati kita tunduk pada perintah Tuhan yang bernama hawa celakalah orang-orang yang tidak mendapatkan ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala dibulan yang agung ini. Bukankah Allah SWT berfirman“Yaitu hari di mana tidak berguna lagi harta dan anak-anak mereka kecuali mereka yang datang menemui Allah dengan hati yang selamat selamat dari kesyirikan dan kotoran-kotorannya.” QS. Asy Syu’ara 88-89Inilah makna taqwa yang harus kita benahi, inilah karakter orang yang bertaqwa, yaitu orang yang berusaha keras melatih diri untuk membersihkan dan menyucikan jiwanya dari kesyirikan dan kotoran-kotoran yang berada pada dinding-dinding hatinya. Inilah esensi ketaqwaan yang Allah Ta’ala mengajarkannya kepada kita, begitulah Allah menjelaskannya kepada kita dan begitulah hakikat dari taqwa yang Allah maksudkan pada kita, yaitu hati yang bersih dari berbagai macam kesyirikan dan kotoran-kotoran yang melekat pada dinding hati.
2 Exco Pertubuhan Gabungan Pengamal Perubatan Islam Malaysia (GAPPIMA) 2014 – 2018. 3. Exco Pertubuhan Terapi Holistik Islam Malaysia (THIS), 2017 – 2018. 4. Setiausaha Agung Gabungan Pertubuhan Pengamal Tradisional Melayu Malaysia (GAPERA) 2018, Badan Pengamal yang diiktiraf TCM KKM. 5. Menjadi Pengamal Perubatan Moden

KEKELIRUAN PEMBAGIAN HAKIKAT DAN SYARI’AT ALA TARIKAT SUFIYAHSebagian kalangan tarikat Sufiyah membagi Islam menjadi dua bagian, yaitu syariat dan hakikat. Atau zhahir dan rahimahullah menjelaskan “Banyak kalangan Sufi yang membedakan agama menjadi hakikat dan syariat”[1]Yang dimaksudkan dengan syariat –menurut kaum Sufi- yaitu perkara apa saja yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya tanpa memerlukan adanya pentakwilan. Mereka menyebutnya dengan nama ilmu zhahir atau ilmu syariah. Menurut kalangan Sufi, golongan yang mengimani nash-nash syariat tanpa menggunakan takwil ini, masuk ke dalam kategori kelompok awam. Yang termasuk dalam klasifikasi ini -menurut kaca mata mereka- yaitu para imam empat, seluruh ulama fiqih fuqaha, dan ulama pengertian al-haqiqah hakikat, yaitu bisikan-bisikan hati dan mimpi-mimpi kaum Sufi, yang mereka yakini sebagai takwil penafsiran ilmu syariat. Ilmu ini dikenal dengan istilah ilmu bathin, dan para pemiliknya pun disebut ahlul-bâthin. Mereka inilah –menurut kalangan Sufi- yang dikategorikan sebagai manusia-manusia khâsh, yang menyandarkan cara pengamalan agama pada penakwilan nash-nash syariat. Bahkan kata mereka, ilmu bathin tersebut lebih tinggi daripada ilmu melabeli para ulama syariah dengan sebutan yang merendahkan. Seperti al-awwaam’ orang-orang awam, ahlu zhahir, al mahjubun kaum yang terhalangi dari ilmu. Bahkan, kata ahlu syubuhat dan hawa nafsu pun mereka lekatkan pada ulama Syarani menukil riwayat dari seorang tokoh Sufi, Nashr bin Ahmad ad Daqqaq, ia berkata “Kesalahan seorang murid ada tiga menikah, menulis hadits dan bergaul dengan ulama syariah“.Lain lagi dengan Syaikh Hamd an Nahlan at Turabi. Sebelumnya ia menyibukkan diri dengan mengajar ilmu fiqh. Akan tetapi, pasca mengenal tarikat, menghabiskan waktunya selama 32 bulan untuk berkholwat. Murid-muridnya pun memintanya untuk kembali mengajar. Akan tetapi ia menjawab “Saya dan al Khalil nama seorang ulama fiqih besar telah berpisah sampai hari Kiamat”[2]Hakikat “Ilmu Hakikat” Sufiyah Menurut seorang tokoh Sufi yang bernama Ibnu Ajîbah[3], bahwa orang yang membagi agama menjadi hakikat dan syariat ialah Nabi. Menurut Ibnu Ajîbah, Allah mengajarkannya kepada beliau Shallallahu alaihi wa sallam melalui wahyu dan ilham. Malaikat Jibril datang pertama kali membawa “syariat”. Dan tatkala “syariat” sudah mengakar, maka Malaikat Jabril turun untuk kedua kalinya dengan membawa “haqiqat”. Tetapi hanya sebagian orang yang memperolehnya. Dan orang yang pertama kali memunculkannya ialah Sayyiduna Ali.[4]Anggapan dan keyakinan seperti ini, tentu merupakan pemikiran bid’ah model baru. Karena sejak awal, kaum Muslimin tidak pernah mengenal pembagian ini. Kaum Muslimin tidak pernah memikirkannya, apalagi sampai mengakuinya. Benih pembagian agama menjadi “hakikat” dan “syariat” ini sebenarnya tumbuh dari sekte Syi`ah yang mengatakan bahwa setiap segala sesuatu memiliki sisi zhahir dan batin. Sehingga –menurut kaum Sufi- demikian pula dengan Al-Qur`an, ia mempunyai sisi zhahir dan batin. Setiap ayat dan kata-katanya memuat pengertian zhahir dan batin. Sisi batin itu tidak terdeteksi kecuali oleh kalangan hamba Allah yang khusus kaum khawâsh, yang –konon- Allah mengistimewakannya dengan karunia ini, bukan kepada orang selain mereka.[5]Oleh karena itu, kalangan Sufi yang memegangi bid’ah ini, mereka telah mengikuti jalan ta`wil, sehingga “terpaksa” banyak menggunakan bahasa-bahasa dan istilah yang biasa dipakai orang-orang Syi` Adanya “Hakikat” dan “Syari’at” Keyakinan yang telah mengakar pada sebagian penganut Sufi ini, memunculkan banyak konsekuensi buruk. Mulai dari berdusta terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam dan juga kebohongan terhadap para sahabat, terutama sahabat Abu Bakr, Umar, dan Utsman Radhiyallahu anhum. Beberapa konsekuensi ini mungkin saja tidak mereka sadari, atau bahkan mereka tolak, akan tetapi, demikianlah tentang kedustaan terhadap Allah Ta’ala,. Yaitu, mereka melakukan pembagian agama menjadi “hakikat” dan “syariat” itu turun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril Alaihissalam. Sedangkan kedustaan terhadap Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, bahwa adanya pembagian ini telah menyiratkan tuduhan terhadap Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, jika beliau Shallallahu alaihi wa sallam telah melakukan kitmânul-ilmi menyembunyikan sebagian ilmu dan tidak menjalankan amanah tabligh secara penuh. Padahal, terdapat ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala atas orang-orang yang menyembunyikan Subhanahu wa Ta’ala berfirmanاِنَّ الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ مَآ اَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنٰتِ وَالْهُدٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا بَيَّنّٰهُ لِلنَّاسِ فِى الْكِتٰبِۙ اُولٰۤىِٕكَ يَلْعَنُهُمُ اللّٰهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللّٰعِنُوْنَۙ“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua makhluk yang dapat melaknati”. [al- Baqarah/2159].Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ“Barang siapa yang ditanya ilmu, kemudian ia menyembunyikannya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membelenggu mulutnya dengan tali kekang dari neraka pada hari Kiamat kelak” [HR Abu Dawud].Sehingga tidak mungkin Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian ilmu. Anggapan itu, nyata merupakan pendapat yang mengada-ada. Ilmu apakah yang beliau sembunyikan? Padahal saat haji Wada`, beliau n telah mempersaksikan tentang tugasnya yang sudah disampaikannya secara utuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun telah menegaskan kesempurnaan Islam dalam Al-Qur` lontaran kebohongan terhadap para sahabat, yaitu anggapan bahwa para sahabat Radhiyallahu anhum adalah orang-orang sesat, bodoh, dan tidak mengenal ilmu hakikat yang dapat mendekatkan manusia kepada mahabatullah. Lontaran ini tentu merupakan kedustaan. Sebab mengandung hujatan yang meminggirkan peran para sahabat Radhiyallahu anhum, dan hanya menempatkan Sahabat Ali sajalah yang telah berperan dalam masalah ini, meskipun hakikatnya mereka pun berdusta atas nama Sahabat Ali Radhiyallahu khusus, kedustaan ini memuat dua semakin menguatkan adanya benang merah antara Sufi dan Syi’ ini merupakan petunjuk adanya hasad terpendam terhadap agama Islam. Karena pembagian agama dalam dua kutub “syariat” dan “hakikat”, di dalamnya mengandung usaha untuk menjauhkan umat Islam dari generasi terbaiknya, yaitu para sahabat Radhiyallahu anhum yang Allah memberikan taufik kepada kaum Muslimin untuk memahami agama Islam dengan cara yang Hiyash Shûfiyah, Syaikh Abdur-Rahmân Juyûsyil-Islâmiyyah lil-Imam Ibnil-Qayyim ma’a Mauqifihi min Ba’dhil-Firaq, Dr. Awwâd bin Abdullah al-Mu’tiq, Maktabah Rusyd, Cetakan III, Tahun 1419 H – 1999 M.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Naqdul-Ilmi wal-Ulama, hlm. 246-247. [2] Târîkh Baghdâd 2/331 [3] Ahmad bin Muhammad bin al Mahdi bin Ajîbah, dia adalah seorang tokoh Sufi, meninggal pada tahun 122H. Dia menulis sebuah kitab berjudul Iqâzhul-Himami fi Syarhil-Hikam [4] Iqâzhul-Himami fi Syarhil-Hikam 1/5. Dikutip dari halaman 149 Ijtimâ’ Juyûsyil-Islâmiyyah lil- Imam Ibnil-Qayyim ma’a Mauqifihi min Ba’dhil-Firaq, Dr. Awwâd bin Abdullah al-Mu’tiq [5] Mengenai aliran Bathiniyah, lihat kupasannya di Majalah As-Sunnah, Edisi 01/Tahun X/1427 H/2006 M, hlm. 54-57 Home /A9. Fiqih Dakwah Firqah.../Kekeliruan Pembagian Hakikat dan...

. 312 197 256 276 317 43 247 24

hakikat taqwa menurut sufi